Di album ini sebenarnya Iis Sugianto turun kelas, setelah album pertamanya, Salah Tingkah (1978), bernuansa siesta pop dan ditangani label sekaliber Jackson Records. Tapi justru lewat rilisan ini namanya melambung pesat di blantika pop, atau lebih tepatnya: pop cengeng. Hits terbesar album ini (dan mungkin sepanjang karier Iis) berjudul “Jangan Sakiti Hatinya”, bikinan siapa lagi kalau bukan Rinto Harahap—jaminan cengeng tingkat dewa (inget istilah slang “muka Rambo, hati Rinto”?). Dari sini tren lagu pop dengan lirik meratapi mulai merebak tak terkendali di radio dan televisi era 1980-an. Bahkan lagu ini sampai diangkat ke layar lebar, menjadi film berjudul sama, dengan Iis Sugianto sebagai salah satu pemeran utamanya. Saya masih sangat kecil ketika film itu diputar di acara film akhir pekan TVRI. Ketakutan bukan main saya menontonnya. Gimana nggak, plotnya tragis nggak ketulungan: broken home, kawin lari, kecelakaan lalu lintas, matanya buta, cowoknya mati, dsb (ini jauuuh sebelum drama Korea dan sinetron religi memenuhi TV swasta kita). Memandangi foto cover kasetnya pun bukannya menenangkan, malah tambah seram: kenapa harus ada sosok patung misterius itu di belakangnya??
Jangan Sakiti Hatinya
Nalika Pak Gesang taksih sugeng
Mungkin ini tak bisa dikategorikan sebagai kaset bootleg niat, tapi justru atas upayanya yang effortlessly cool itu kita patut angkat topi. Cukup dengan teks ketikan di atas kertas putih polos, variasi font warna merah (hanya soal ganti pita ketik saja), underlined, dan beberapa typo, rilisan ini mampu tampil elegan. Sejatinya kaset ini adalah kopian dari dua piringan hitam. Side A, atau “Index A” kalau istilah kaset ini, diambil dari plat Sebelum Aku Mati, yang sampul aslinya menampilkan Gesang berpose dengan jas rapi dan berdasi (!) dengan rokok terselip di jari (!!), di dalamnya memamerkan warna vokalnya yang agak berat dan khas. Sementara Index B-nya diambil dari plat Malam Sjahdu, kompilasi lagu-lagu tentang malam dari Orkes Tetap Segar pimpinan Brigjend R. Pirngadie (jenderal dan keroncong, perpaduan yang bisa sangat dimengerti bukan?). Bunyi plat mungkin kinclong gemilang, dengan sesekali kemresek khas nostalgia; sementara versi kasetnya malah agak sayup-sayup mendhem, lamat-lamat semilir seperti rombongan pesinden yang bersenandung khidmat dari kejauhan. Justru pada situasi seperti itulah, dalam kombinasi yang susah dijelaskan, keroncong mampu berbicara banyak. Cocok untuk didengarkan sore-sore, jika perlu sambil memandangi ke luar jendela yang dibasahi gerimis petang. Jika perasaan Anda tidak jadi melankolis karenanya, mungkin Anda bukan manusia.
* * *
Batman 7″
The God Machine – One Last Laugh In A Place Of Dying… (1994)
Sekitar tahun 1995-1996, ketika masih duduk di bangku SMA di Solo, saya iseng membeli kaset ini. Mendapati kombinasi nama band dan judul album yang terbaca puitis dan misterius ["mesin tuhan: gelak tawa terakhir menjelang ajal...", tampak keren bukan?] saya lantas bertanya-tanya seperti apa musiknya. Belum lagi desain sampulnya yang sederhana, putih polos, saking sederhananya malah bikin tambah penasaran. Saat itu kebetulan kondisi segelnya tidak bisa dicoba dulu di toko kaset gara-gara mbak penjaganya tampak judes, padahal biasanya bisa—”Lagi dapet ya Mbak?” joke usang nyebelin khas anak SMA—jadi dengan mengucap bismillah saya merogoh dompet dan membawa pulang kaset itu. Di kamar kos (saya sudah ngekos waktu SMA) yang gerah dan sumpek, saya terbengong-bengong sendiri. Musiknya terlalu gelap dan industrial, sound tebalnya lumayan intimidatif dan bikin puyeng anak SMA baik-baik pendengar setia Dewa 19 seperti saya, yang bahkan terlalu sungkan untuk sekadar bertanya ke gerombolan sebelah, teman-teman seangkatan yang suka bolos, merokok dan mulai coba-coba mabok sambil nyetel lagu-lagu keras. Di rak kaset saya yang disusun sesuai urutan abjad nama artist, apa boleh buat, album ini harus rela diapit oleh Fun Factory dan Hanson.
Setelah dipikir-pikir, akhirnya saya memutuskan untuk mencoba menghayati sendiri album ini. Setel dengan volume sepantasnya (jangan terlalu pelan, tapi jangan juga sampai bikin kamar kos sebelahmu memaki sambil lempar sandal ke pintumu), lebih afdol lagi sambil baca-baca liriknya. Lagu pertama side A langsung dibuka dengan kalimat suram “Cut myself/ because I can’t see the beauty..” Busyet. Nomor selanjutnya lebih brutal lagi kata-katanya, “Daddy took his hand and knocked me to the ground/ Daddy said, “Faggot, fight like a man!” di lagu yang berjudul… “Mama”! Mungkin perbandingan ini tidak terlalu tepat, tapi di kuping saya waktu itu kaset The God Machine ini terdengar seperti sepupu jauh The Smashing Pumpkins dan Tool yang lebih udik, lebih purba (atau lebih hakiki, tergantung cara Anda memaknai kepurbaan), yang seperti kurang beruntung harus bekerja di tambang tua milik seorang tuan tanah yang tamak: pasokan bir dingin sangat kurang, sementara matahari tak kunjung terbenam. Lebih geram dan lebih menggelisahkan. Lebih bertenaga dan lebih menghantam! Ada 14 lagu di situ dan separuhnya memakai judul “The […] Song”. Mungkin mereka hanya tidak suka basa-basi. Bahkan di nomor paling lembut, “In Bad Dreams”, yang dalam bayangan saya petikan gitarnya bisa saja diganti denting piano, tetap ada kalimat nyeri yang menghentak, “When you sleep do you see an angel in dying light?/ But you only see me in bad dreams.”
Bertahun-tahun kemudian, di era internet, saya baru ngeh bahwa rilisan-rilisan awal Mogwai (sebelum menjadi terlalu postrock) ternyata sangat dipengaruhi oleh band berumur pendek ini. Di sleeve kaset One Last Laugh In A Place Of Dying… yang irit informasi ini (hanya ada teks lirik sambung menyambung tanpa tanda jeda antarlagu, dan data elementer rilisan), tepat di bawah tracklist ada teks persembahan yang cukup mencolok: “Dedicated to Jimmy Fernandez”. Rupanya itu dimaksudkan bagi sang bassist yang meninggal karena tumor otak saat rekaman ini baru selesai di-take. Dibanding rilisan-rilisan The God Machine sebelumnya (saya peroleh di era mp3 trader), materi album ini terdengar jauh lebih mentah. Ternyata itu karena para personel yang masih hidup tak mau ada proses mixing. Mereka ingin rekaman itu terdengar persis seperti saat si bassist masih berada di tengah-tengah mereka, tepat ketika proses rekaman itu harus terhenti, jujur apa adanya. Tak bisa membayangkan ada bassist pengganti, mereka sepakat untuk mengakhiri riwayat band ini. Sedih.
* * *
NB: Kaset The God Machine era SMA itu hilang terselip entah di mana saat saya pindah ke Bandung. Beberapa waktu lalu, saya berhasil mendapatkannya kembali di lapak kaset bekas. Ada coretan dari pemilik/pembeli sebelumnya, dari tulisan tangannya sepertinya dia perempuan, bertuliskan [sic]: “To the guy that has given me pleasure more than he knows, hepi 22nd besdey.” Wow. Cewek menghadiahi cowok dengan kaset sangar seperti ini, how cool is that?
(((STREAMING)))
Mogi D.
Penyanyi bengal anak seorang diplomat Indonesia ini sempat tinggal lama di luar negeri mengikuti tugas orangtuanya, pernah merilis beberapa single plat 7″ di Eropa, bahkan resmi mewakili negara Austria (!) di ajang internasional The World Pop Song Festival 1971 di Jepang sampai masuk babak semifinal (rekaman live festival ini pernah dirilis dalam format vinyl double LP, yang kini sangat rare dan harganya fantastis). Sepulangnya ke Indonesia, Mogi Darusman langsung bikin ulah dengan merilis album protes Aje Gile di penghujung dekade 1970-an. Lewat musik folk-rock slenge’an ala Bob Dylan berlogat Betawi jalanan, lirik blak-blakan lagu “Aje Gile” langsung merangsek menyerang otoritas dan kebobrokan mental negeri, terutama budaya korupsi yang merebak di kalangan pegawai pemerintah dan merasuki hampir segala sendi masyarakat (“Rayap-rayap”, “Koruptor”). Pernyataan sikap yang berani ini berujung cekal di mana-mana: kasetnya dibredel dan lenyap dari peredaran karena disita aparat, Mogi dilarang tampil di TV, bahkan kabarnya dia ditangkap polisi setelah di atas panggung bernyanyi mengejek Presiden Soeharto. Pernah suatu kali ada orang yang nekat meng-cover lagunya di atas panggung dalam sebuah acara pejabat dan alhasil orang tersebut langsung ‘diamankan’ petugas. Ketika karya-karya Pramoedya Ananta Toer diberangus penguasa, konon hanya Mogi yang berani bernyanyi tentang Pram. Dari atas panggung, Gombloh pernah memanggil Mogi yang diam-diam menyelinap di antara penontonnya, untuk bersedia naik ke atas panggung. Penonton langsung bergemuruh mengelu-elukannya, memaksanya bernyanyi. Artwork kaset-kasetnya unik, seperti berpose bugil di atas kloset duduk, atau berfoto bareng anjingnya—dia namai Baron Darusman—dengan caption keras: “Nasib anjing gua lebih baik dari kita.” Rentang eksplorasi tema lagunya cukup luas, mulai dari kematian, atau lebih tepatnya bunuh diri, pada lagu “Nisan” (“…selamat tinggal/ kala berpisah/ kutatap musuhmu…“), hingga problem kewarasan manusia pada “Orang-orang Gila” (“…bahkan astronout-astronout juga menegaskan/ bahwa di bulan pun terdapat orang-orang gila/ dan sampainya mereka ke bulan pun atas ulah orang-orang yang gila…“). Ada juga lagu tentang urbanisasi, penyesalan seorang mantan straatjongen, hingga fenomena perek. Kali lain dia berdendang tentang penguasa yang hipokrit, “…cerita paduka yang sangat ramah/ cerita bencana yang dianggapnya lumrah…” Sebetulnya lagu-lagu Mogi tak melulu keras dan bernuansa protes, ada juga terselip beberapa nomor romantis seperti lagu “Liza” dengan vokal serak yang susah kautolak, dan lirik menyentuh di lagu “Keresahan” semacam “..bintang kejora di langit/ jauh dan mistis seperti senyummu..” Lagu-lagu lainnya juga cukup eklektik, tak hanya country-folk: ada warna pop elegan sarat piano yang bisa dimasukkan ke film Teguh Karya jika mau, ada juga spoken words ala baca puisi tentang otokritik pada tanah air (“Pertiwi”) yang bisa jadi mengilhami adegan Rangga di film AAdC dua dekade setelahnya. Ada beberapa jam session panjang beraroma blues (mungkin dia sedang bosan), suara lamat-lamat pesinden tradisional yang diselipkan dalam track berbahasa Inggris, hingga sentuhan new wave di rilisan akhir ’80an-nya. Sesekali dia terdengar seperti Broery, di kali lain mirip Iwan Fals, Doel Sumbang, Gito Rollies, bahkan d’Bodors; tapi dalam versi yang lebih baik dari semua nama itu. Mogi sempat bermasalah dengan kolaboratornya, serta dituduh menjiplak lagu orang. Teguh Esha, kreator Ali Topan Anak Jalanan yang juga menulis lirik beberapa lagu Mogi (hubungan mereka berakhir buruk) dalam sebuah wawancara tahun 1978 dengan majalah Tempo menyebut Mogi sebagai pribadi yang meragukan dan ada kesan bajingan. Kebetulan wajah ganteng dan potongan bengal Mogi sempat membawanya ke dunia akting layar lebar, berperan antagonis sebagai salah satu pemuda pemerkosa Sum Kuning (!) di film Perawan Desa (1978) yang diangkat dari kisah nyata yang sempat menggegerkan stabilitas nasional itu. Ada satu jasa Mogi Darusman yang sering dilupakan dunia musik pop Indonesia: dialah yang pertama kali menemukan bakat Vina Panduwinata.
* * *
NB: Foto ilustrasi di atas diambil dari koleksi pribadi saya. Jika ada rilisan lain yang terlewat, silakan beritahu di kolom komentar. Selain itu ada juga plat single 7″ dengan nama Mogi D. rilisan Austria , dan plat 12″ tanpa cover (promo radio) rilisan Indonesia di mana baik side A maupun B-nya berisi lagu-lagu Mogi Darusman, kebanyakan diambil dari dua kaset teratas di foto tadi.
“Aje Gile”
“Rayap-rayap”
“Koruptor”
“Arti Sebuah Mimpi”
“Pertiwi”
Kaset Sigur Ros
Sepengamatan saya, album Takk… (2005) ini adalah satu-satunya rilisan Sigur Ros yang pernah dicetak dalam format kaset di Indonesia. Bahkan di seantero dunia—silakan dikoreksi jika keliru—selain album tersebut, tercatat hanya pernah ada versi kaset dari album kedua mereka, Ágætis byrjun (1999), dirilis oleh BMG Rusia. Bisa jadi karena jarang, harga kaset rilisan PT EMI Indonesia ini sempat jadi mahal di pasaran online di luar negeri sana (pernah $40-50 untuk kondisi mint, sealed). Sementara di Indonesia, banyak yang nggak ngeh dengan keberadaan kaset ini. Bisa dipahami karena pada tahun 2005 era perkasetan di toko musik umum (Aquarius, DiscTarra, untuk menyebut beberapa contoh) sudah mulai memasuki senjakala. Menurut beberapa kawan, kaset itu malah pernah diobral seharga limaribuan di sebuah supermarket, konon gara-gara tidak laku di toko kaset. Bayangkan, “Hanya seharga Chiki!”, demikian kata seorang kawan. Di Alfam*rt Rp 5.000, di eB*y USD 50.00. Angka cantik, bukan? Harusnya ketika Jonsi dkk manggung di Jakarta tempo hari, bisa minta tandatangannya di kaset langka tersebut, tapi jangan lupa copot dulu price tag limaribuannya! Hehe. Sebenarnya sound berlapis-lapis khas Sigur Ros jadi nggak gitu kinclong ketika didengarkan lewat kaset. Setidaknya dibandingkan versi CD maupun piringan hitamnya. But perfection is boring, right?
* * *
Kartun Sabtu Pagi, atau Minggu Pagi?
Mumpung Sabtu pagi, saya posting kaset ini ah. Idenya brilian, band-band keren ’90s meng-cover komposisi theme song dari beberapa serial kartun Sabtu pagi yang beken (atau pernah beken) di luar sono. Dulu saya membelinya sekitar 1995-1996 di toko kaset Aquarius Solo, sepulang dari sekolah masih memakai seragam putih abu-abu, dan kelar dari kasir langsung merasa diri paling ‘alternative’ se-Margoyudan! Hehehe. Favorit saya di situ: Butthole Surfers mengacak-acak “Underdog” menjadi seperti sound milik mereka sendiri, “Open Up Your Heart and Let the Sunshine In” dari serial The Flintstones ampuun jadi manis banget di tangan Frente!, “Scooby Doo” oleh Matthew Sweet yang memang melodinya sendiri sudah terlanjur nempel di kuping lawas saya, dan “Eep Opp Ork Ah-Ah” yang trippy dari Violent Femmes. Ada yang bilang, beberapa kawan-kawan punk di Indonesia mencari kaset ini karena ada Ramones di situ, membawakan “Spider-Man”. Demikian pula saat musik ska marak di Indonesia akhir ’90an, kaset ini juga sempat diburu lagi lantaran ada satu nomor dari Sublime. Sementara kartun-kartun yang diputar di TV Indonesia saat itu mungkin lebih tepatnya bukan di hari Sabtu pagi ya, tapi Minggu pagi. Kebanyakan pasokannya memang, apa boleh buat, adalah kartun-kartun dari Jepang. Tapi pihak TV kita dulu sudah cukup ‘jenius’ dengan berinisiatif bikin versi lirik Indonesia—musiknya tetap sama—sehingga bocah-bocah di sini bisa ikut menyanyikannya, mungkin dengan logat cadel atau mulut masih cemong-cemong. Sekadar berandai-andai, mungkin nggak ya, sekarang dibikin kompilasi indie sejenis, berjudul misalnya “Kartun Minggu Pagi”? Zeke Khaseli pasti seru bereksperimen mengobrak-abrik opening song “Doraemon” atau “Crayon Shinchan”, sementara White Shoes and the Couples Company sepertinya pas untuk mendendangkan “Sailor Moon” atau “P-Man” yang berbau-bau pop Indolawas, dan Pandai Besi pasti bakal sangat gagah menyanyikan “Saint Seiya” (ehmm tapi serial ini bukan di hari Minggu ya?) atau bisa juga “Dash Yonkuro”! Ebuset, jadi pengen main tamiya lagi. Seorang kawan, Sandya Maulana, bercerita bahwa Mr. Sonjaya kerap memasukkan lagu penutup Mojacko “Sahabatku dari Luar Angkasa” ke repertoar live mereka. Sementara “Ninja Hattori” versi Sex Sux sepertinya bakal ciamik juga. (Seorang kawan yang tinggal di negeri Paman Sam, Cak Wawan, pernah jenaka mengcover “Ninja Hattori“ dengan imajinasi jika itu dibawakan oleh Sujiwo Tejo!) Kalau “Dragon Ball” cocoknya dibawain siapa ya? Kalau usul Sandya, Mesin Tempur!
* * *
Go.. Go.. Power Rangers…!
Kenapa beli kaset ini, ya apa lagi kalau bukan gara-gara theme song serial TV-nya yang racun banget itu: “..go go, power rangers…” (diulang 100x). Plot ceritanya gitu-gitu aja sebenarnya, ketebak banget, tipe-tipe personelnya juga klise pol (stereotip ras), tokoh-tokoh antagonisnya blo’on-blo’on mengharukan, monsternya apalagi. Semuanya konyol minta ampun tapi entah kenapa ya saya tonton terus. Frase “mighty morphin[e]” di sini jadi masuk akal deh, hihi. Mungkin juga gara-gara itu diputernya tiap hari Minggu pagi agak siang, dan saya masih SMP waktu itu sering mati gaya nggak tau harus ngapain lagi di hari itu selain nyuci sepatu dan berharap bakal kering hari itu juga supaya besoknya bisa dipakai ngeceng pas upacara bendera. Dan ketika masuk SMA saya harus mulai ngekos, jadi sesekali bisa bikin alesan nggak pulang ke rumah orangtua di hari Minggu (bilangnya sih ngerjain tugas kelompok padahal setelah beres langsung lanjut ke tukang loak), eh kok ya tiba-tiba malah nongol versi layar lebarnya! Gile aje cing, udah disiksa 30 menit tiap minggu di TV, ini malah ada versi 2 jam-nya di bioskop! DUA JAM! Makasih yee, nggak deh sob. Tapi saya malah penasaran sama soundtrack-nya, siapa yang bakal bawain theme song sialan itu? Meski nggak sudi nonton filmnya di bioskop, toh saya tetep ke toko kaset nyari album OST-nya. Ternyata lagu racun itu dibawain sama vokalis Mr. Big, dan drummer-nya pakai Matt Sorum dari Guns N’ Roses! Harus saya akui lagu versi the movie ini jadi seratus kali lipat lebih keren ketimbang di TV. Grafik emosinya lebih “dibangun”, sound-nya lebih gagah, beat-nya lebih nendang (jadi pengen ikutan nonjok si monster nggak sih), dengan kata lain: lebih brengsek. Susah juga buat nggak ikutin jingkrak-jingkrak. Kalau kata Alpha, “Ayeyaiyay!!!” Pokoknya ROCK!!! Tracklist lainnya? Nggak penting. Eh tapi lumayan juga sih ada Devo (yes, D-E-V-O lho bro!) yang kok ya mau-maunya bikin lagu baru khusus buat soundtrack ini, terus ada Red Hot Chili Peppers nge-cover Stevie Wonder (how cool is that, eh?), band “alternative” They Might Be Giants, dan lagu beken Van Halen era Hagar. Oya, ada juga Shampoo, yang lagu “Trouble”-nya di jamannya sempet ngehits sekaligus gengges, “O-o.. we’re in trouble../ O-o.. we’re in trouble..” Ehmm, yakin mbaksis.. kalian lagi ada masalah? Bener?? Yakin??? Berarti saatnya.. BERUBAH!!! GO.. GO.. POWER RANGERS!!! (diulang 100x).
* * *
Kaset Bootleg Lawas John Lennon/Plastic Ono Band
Sepertinya ini kaset-bajakan-niat atau kaset-bootleg-lokal atau apalah itu namanya, yang saya duga diproduksi sekitar penghujung dekade 1970-an. Pita kasetnya pakai Maxell tentunya, yang memang kualitasnya terpercaya waktu itu untuk persoalan rekam merekam. Uniknya, untuk perkara sampul, dia tidak semata-mata memakai teknik cut-and-paste foto artwork vinyl yang kemudian ditimpakan ke template letterpress seperti kebanyakan kaset era Yess; melainkan dengan penggunaan kertas foto untuk sekujur sampulnya, yang diproses khusus di kamar gelap.
Dengan demikian upaya ini terhitung agak lebih niat dibanding rekan-rekan sejawatnya (atau tren saat itu memang sudah mulai bergeser ke arah situ?), apalagi ditambah ide ‘brilian’ membubuhkan di sudut kanan atas, tulisan “John Lennon” (doang, tanpa “Plastic Ono Band”, ini jelas ngaco dan semena-mena :p). Tentu saja itu taktik dagang semata, karena jika menuruti plat aslinya yang di sampulnya tak ada informasi sama sekali siapa nama artist-nya, jangan-jangan kasetnya nggak bakalan laku! Font tegak bersambung “John Lennon” bikinan sendiri itu berarti sudah harus diproses sejak di negatif filmnya (saya bayangkan di-grafir dengan penuh kesungguhan hati) ditambah logo balet (ini juga tak mudah!) yang saya duga adalah lambang label lokal tersebut. Jangan lupa pula imbuhan cap “Stereo”, sebagai jaminan mutu bahwa teknologi label dia sudah cukup mutakhir saat itu. Karena semuanya sudah dipikirkan sejak awal pada negatif fotonya sebelum diproses di kamar gelap, hasil akhirnya adalah foto sebagai sekujur sampul yang mulus rata jika diraba dengan jari. Mantap!
Bisa jadi lantaran energi kreatifnya sudah terkuras di urusan sampul, untuk inner sleeve-nya mereka cukup menyisipkan kertas putih polos berisi tracklist ketikan (dari mesin ketik) doang, tak perlu ada lirik. Otentik! Sisa durasi pita di side B diisi dengan Three Dog Night album Golden Bisquits. Saya sempat salut dengan pilihan mereka utk tidak mengacak2 susunan lagunya (lagi-lagi ini berbeda dengan kebiasaan rekan-rekan sejawatnya), tapi apa daya kapasitas satu sisi C-60 yang terbatas tidak muat untuk merekam keseluruhan isi plat, sehingga ada 3 lagu terakhir di versi aslinya yang tidak terekam di versi kaset ini. Begitu pula dengan Three Dog Night, terpaksa kehilangan 3 lagu terakhirnya juga.
Soal musiknya sendiri, komposisi pembuka debut album penuh John Lennon ini, “Mother”, menurut saya adalah salah satu lagu paling mencekam yang pernah ada. Lonceng gereja yang berdentang-dentang di intronya seperti memanggil-manggil kita dari alam baka, sementara teriakan parau John (bagian dari primal therapy dia) di tengah-tengah dan penghujung lagu seolah mengisyaratkan bahwa memang ada yang tak beres dalam dirinya. “Mother, you had me/ but I never had you../ Father, you left me/ but I never left you…”
Selamat Hari Ibu.
* * *
John Lennon – “Mother” (studio version):
John Lennon – “Mother” (live version)
Saya merasa versi John itu sudah yang paling sangar, sampai akhirnya saya mendengar versi live cover version-nya oleh Jeff Mangum (of Neutral Milk Hotel) featuring Chris Knox (of Tall Dwarfs)! Astaga, lebih bikin frustasi!
* * *
Bubur Kertas dan Martabak Mesir
CD di atas adalah rilisan impor UK dari album Pulp This Is Hardcore (Island, 1998). Kaset sebelah kiri adalah rilisan lokal Indonesia (PolyGram) yang saya beli 16 tahun silam, sedangkan sebelah kanan adalah kaset rilisan lokal Cairo, Egypt (Mirage) yang belum lama ini saya dapatkan. Untuk ukuran artwork cover yang cukup ‘mengundang’, saya angkat topi pada label kaset Indonesia yang mengambil sikap cuek dengan tetap menaati cover aslinya (vinyl/CD, format bujursangkar), paling cuma agak di-zoom dan sedikit potong kanan-kiri-OK demi menjaga fokus perhatian pada ekspresi raut muka penuh arti si fotomodel. Konsekuensinya adalah punggung mulus licin dan lekuk rusuk yang menggoda itu menjadi sedikit outframe, alias ‘hilang’ karena keluar bingkai (mengikuti format kaset yg persegi panjang), tapi dengan cutting ratio yang masih masuk akal dan tetap enak dipandang. Bahkan hasilnya lebih magis, lebih bikin imajinasi-otak-ngeres Anda makin bekerja karena seperti kata pepatah, ‘less is more‘! (Btw, teknik cutting-biar-outframe semacam ini pernah dipakai juga oleh label Jackson Records untuk mengakali foto Vina Panduwinata yang berpose nungging asoy di sampul album Citra Ceria pada tahun 1984, saat harus dipindahkan dari plat ke kaset.) Sementara label Mesir, meski datang dari bangsa dengan sejarah peradaban salah satu yang tertua di dunia, rupanya masih rikuh dengan hal-hal seperti ini. Punggung si model dipertahankan tetap ada, tapi dipermak dengan menambahkan tutup kain (!) di atasnya, seolah-olah itu perpanjangan dari alas red velvet yang warnanya memang sensual itu. Garing ah! Warna pigmen kulit si model pun agak dipergelap sehingga kemulusannya yang harusnya terpancar itu pun menjadi redup. Bahkan belahan dada yang menggelantung sentosa itu pun mereka tutupi dengan menambahkan bayang-bayang gelap! Dan.. seolah semua itu belum cukup, masih juga diimbuhkan bayangan tangan di sebelah bawah, seakan-akan itu efek pantulan cermin. Padahal jelas-jelas itu efek pengalihan pandangan! Atau nggak tahu lagi harus diisi apa? Belum lagi logo label lokal segede gaban yang ditaro semena-mena, bikin kadar elegan sampul itu jadi anjlok sekian persen. Tapi edisi Mesir ini ternyata bukan yang paling parah. Sekitar awal tahun 2000 di sebuah toko musik di Jakarta, seperti yang dulu pernah saya ceritakan, saya sempat melihat edisi lain lagi dari album Pulp ini, kalau tidak salah itu rilisan Malaysia, yang sungguh keterlaluan: badan si model perempuan itu tertutup baju hangat, sweater dari bahan rajut! Ragu-ragu Icuk, saya nggak membelinya saat itu. Sekarang edisi langka itu tak pernah saya temukan lagi. Jika Anda punya album ini, silakan putar sampai habis, dan di nomor terakhir, ketika lagunya habis, biarkan album ini terus berputar. Bakal ada suara kejutan di situ. Mungkin Anda juga sudah tahu. Hidden track (?) tersebut, bagi saya, tetap saja mengagetkan, bahkan setelah 16 tahun kemudian!
* * *
Kebun Binatang Blur: Jazz, Punk, Waltz, etc
Sepengamatan saya, Blur selalu menyelipkan setidaknya satu track bernuansa punk di setiap album mereka (kecuali mungkin di debut album Leisure, yang lebih kental aura baggy), mulai dari porsi sayup-sayup seperti “Advert” di album Modern Life Is Rubbish, hingga yang lebih kentara semacam “Bank Holiday” di Parklife, “Globe Alone” di The Great Escape, “Chinese Bombs” (ini favorit saya!) di Blur, “B.L.U.R.E.M.I.” di 13, dan “We’ve Got A File On You” di Think Tank. Sebenarnya ini bisa dimengerti karena di awal karier mereka sebelum rekaman, Blur memulai sebagai band art-punk bernama Seymour. Tapi di kumpulan B-side(s) mereka yang memang bejibun itu, ada track-track tersembunyi yang menunjukkan bahwa Blur sebenarnya bisa bermain di wilayah musik apapun. Selalu ada pengaruh-pengaruh dari beragam genre musik, seperti gospel dan electronic di beberapa nomor di 13, atau world music di Think Tank. Bahkan jazz! Ya, seperti “Beard” misalnya, B-side dari single “Parklife” versi 12-inch, adalah mutiara terpendam: itu komposisi bercanda mereka, yang iseng direkam sambil mengenang studio dimana mereka biasa latihan di tahun-tahun awal mulai ngeband, yang kebetulan adalah tempat jazz; mungkin sekaligus agak pamer, “Kita bisa juga lho maenin jazz!” Jam session pendek instrumental ini dimasukkan juga di album kompilasi The Special Collectors Edition (1994), yang seluruh isinya memang ajaib-ajaib, bagi mereka yang kurang mengikuti B-side(s) Blur mungkin bakal terdengar nyleneh. Di kompilasi yang hanya dirilis di Jepang itu, misalnya, ada setidaknya dua lagu berirama waltz. Yeah, waltz!!! Mereka adalah “Got Yer!” yang cenderung gelap dengan beberapa kali suara bedil, dan “Anniversary Waltz” yang ceria dan bikin lantai dansa jadi lebih menarik dari yang seharusnya. Dua-duanya dari era album Parklife, dua-duanya memasukkan sampling suara angsa (ada apa dengan waltz dan angsa?), dan dua-duanya tentu saja tak disukai Justine Frischmann. (“Karena mengingatkannya pada sebagian ras Arya dalam diri saya,” ujar Damon soal alasan ketidaksukaan Justine atas lagu-lagu waltz Blur.) Tapi track paling favorit saya di kompilasi ajaib itu tetap saja “Theme From An Imaginary Film”, yang berbau waltz juga, dan ada suara harpsichord pula di situ. Liriknya indah sekaligus sinis “..what if I flew like a dove, dear?/ what if I wooed you in a rhyme?” Ada banyak metafora binatang di sepanjang katalog Blur, terutama di era Modern Life Is Rubbish dan Parklife yang bahkan sampul albumnya pun foto anjing. Produser Stephen Street tercatat beberapa kali menyelipkan sampling suara-suara binatang di lagu-lagu Blur, seperti suara angsa tadi, dan burung camar ke dalam intro sebuah komposisi indah “Clover Over Dover”, yang saking indahnya aransemen versi studio itu menurut Damon hingga Blur tak pernah sanggup membawakannya secara live. Suara-suara binatang itu diambil dari piringan hitam tua Sound Effects keluaran BBC. Beberapa tahun lalu, ketika saya diminta oleh sebuah majalah gaya hidup di Bandung untuk menulis tentang tema binatang, saya hampir menulis soal itu. Di saat-saat terakhir saya berubah pikiran, dan lebih memilih bercerita tentang binatang-binatang di kepala Syd Barrett.
* * *
Kaset Gepeng Keluar dari Srimulat
Mungkin hanya Srimulat, grup yang bisa santai menanggapi konflik internal keluarnya salah satu personel penting mereka, dan malah menjadikannya naskah lawak!
Di salah satu adegannya, Gepeng bilang ke Asmuni, “Pak, saya mau keluar! Saya mau wiraswasta.” Lalu dijawab dengan lempeng oleh Asmuni, “Kamu ini pelawak, seniman. Lha kok mau dagang.. Apa bisa?”
Eits, dalem bro!
* * *
Kompilasi Crackin’ d Egg
Kalau saja tempo hari seorang teman nggak posting soal Ragadub—band pre-Komunal—di forum sebuah FB group, mungkin saya nggak bakalan ngeh soal kaset kompilasi ini: Crackin’ d Egg (D’VA 999, rilisan 2003). Saya menemukannya di lapak online beberapa hari lalu, kondisi segel NOS lengkap dengan sticker-harga-lama Rp 15.000,- (sepertinya bekas distro), dan buru-buru saya mengetik “HOLD” di kotak komentar, hanya gara-gara ada nama Ragadub disebut di situ. Setelah transaksi beres dan barang datang, dari sleeve-nya saya mendapati nama-nama pengisi lainnya yang datang tersebar dari Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, Denpasar, Lombok, Kediri, plus 1 band tamu dari Selangor, Malaysia. Musiknya cadas dan bising, gas pol dari awal sampai akhir, beragam mulai dari death metal, thrash metal, techno, industrial, darkwave, hardcore, dsb. Ada Mayyat, unit black metal asal Bali (terasa sangat gelap hanya dengan menggandakan huruf ‘y’ pada namanya!) yang menggabungkan pengaruh Cradle of Filth dengan nada-nada tradisional mistis Pulau Dewata. Favorit saya ada di track terakhir, dari Pork, band asal Bandung (ada yang tahu di mana mereka sekarang?), dengan nomor sangar berjudul “Lovesick” yang direkam live. Jeritan histeris vokalisnya diiringi dentuman noise membuatnya terdengar modern tapi sekaligus tua, jenis sound-bikin-merinding yang tak lekang dimakan jaman. Menariknya, ada nama Sajama Cut terselip di situ, dengan judul lagu menggelikan: “Muka Katro Abadi”. Jangan bayangkan Marcel Thee ber-indie rock ria a la The Osaka Journals atau Manimal di sini, haha, ini beda banget! Sebenarnya itu lagu lama mereka ketika masih bernama Roswell, yang dimasukkan di kompilasi ini dengan nama baru Sajama Cut. Menurut seorang teman tadi, lagu itu sempat masuk chart Ardan Indie 7 selama beberapa minggu.
* * *
This Is Reggae? Hil yang Mustahal!
Saya dulu pertama kali mengenal kata “reggae” dari kaset tua ini, dimana ada lagu “Whisky and Soda” di situ, yang kemudian ‘dipakai’ Srimulat sebagai “theme song” pentasnya di TVRI. Si Budi kecil lumayan bingung dibuatnya, lalu merasa perlu bertanya ke seorang famili yang lebih tua, “Srimulat iki reggae yo Mas?”, yang langsung dijawab dengan kernyitan dahi.
Satu Mangkok (Saja), Dua Ratus Perak?
#nowplaying
Melisa – Tukang Bakso
didukung Tom Tam Group, Jali-jali Group
[kaset, Gajah Mada Record, tahun rilis sekitar 1990]
Siapapun yang pernah jadi anak kecil di era ’90an pasti ingat lirik lagu legendaris ini, “..bakso bulat/ seperti bola pingpong/ kalau lewat/ membikin perut kosong..” Prinsip rima di situ mirip sajak a-b-a-b di pantun jenaka menurut buku pelajaran Bahasa Indonesia, dan entah apakah si penyanyi sedang mendeskripsikan bakso saja atau sekaligus pipinya sendiri. Sampul kasetnya menampilkan pelawak kenamaan S. Bagio sebagai abang tukang bakso (“mari mari sini/ aku mau beli..“) dengan outfit lintas jaman yang sungguh profetik: topi pancing Ian Brown, kaos tribal psychedelia, celana gulung hipster.. semuanya waaay before it was cool! Sempat diisukan meninggal gara-gara kesetrum, desas-desus kematian Melisa saat itu berhembus sama kencangnya dengan gosip Enno L*rian dihamili B*ndan Prakoso. Seingat saya tak pernah ada konfirmasi jelas soal ‘kabar burung’ (pun intended) dari dunia gosip underground artis-artis cilik tersebut. Apa jadinya kalau socmed sudah ada saat itu? Kini kabarnya Melisa udah gede, cantik, sekolah di luar negeri, bahkan mungkin sudah menikah. Seorang kawan mengomentari lagunya, “Dengan adanya bait ‘juga tidak pakai kol!’ jelas ini bukan tentang Bakso Malang.” Seorang kawan lainnya langsung menimpali, “Ada juga kok, bakso di Malang yang pakai kol, extra crunchy.” Dua kawan saya itu kebetulan dua-duanya dari Malang. Terus terang saya sempat bingung dengan logika silogisme di atas. Permintaan Melisa “juga tidak pakai kol” menyiratkan bahwa bakso yang biasa lewat di sekitar rumahnya selalu pakai kol; lalu kesimpulan kawan saya itu “bukan tentang Bakso Malang” berarti Bakso Malang biasanya tidak memuat kol.. eh tapi emang ada gitu, bakso yang pakai kol? Kalau soto mie sih memang pakai kol.. Aduh, ruwet. Lirik yang aneh! Jangan-jangan kalimat itu dipakai hanya karena pertimbangan lingua poetica semata, demi mengejar keterpenuhan slot suku kata pada liriknya. Atau anggaplah memang ada bakso semacam itu di sekitar rumah Melisa, bisa jadi itu murni keputusan prerogatif penjualnya yang absolut, dan bukankah yang namanya variasi itu sah-sah saja? Saya jadi ingat, dulu ketika pertama kali makan bakso di Bandung (lazim disebut ‘baso’, tanpa sisipan ‘k’), saya agak heran kenapa ada tauge alias kecambah. Setahu saya, bakso di Jawa Tengah tidak menyertakan thokolan atau cambah (bahasa Jawa untuk tauge) di kuahnya, atau mungkin ada di beberapa tempat tapi cukup jarang (ini dulu lho ya, entah kalau sekarang, in this borderless world…). Untunglah Sumpah Pemuda dulu tidak ada yang berbunyi, “…mengaku berbakso satu, bakso Indonesia.” Bisa ribut itu mazhab Solo dan Malang. Saya sendiri bukan penggemar berat bakso, namun jika boleh lidah ndeso saya ini berpendapat, bakso paling enak di dunia itu ya bakso gaya Solo (dan/atau kabupaten-kabupaten sekitarnya). Jika sampeyan ada waktu dan kesempatan, silakan singgah ke daerah Hegarmanah, Bandung. Ada satu penjual bakso gerobak langganan saya—woles, bermuka ramah dan kalau tidak salah asalnya dari Sragen—yang sering lewat depan kantor saya sore-sore, mangkal bentar di dekat parkiran, sebelum lanjut keliling kompleks. Ampun, itu bakso enaknya beyond belief! Ya duduh-nya, ya glindhingan-nya. Ada glindhingan kecil dan glindhingan besar (bakso urat maupun yang diisi telor rebus), dua-duanya lembut tapi masih ada unsur kenyal: tiap gigitan tetap menyisakan perlawanan. Dan aftertaste-nya hanya akan bikin kita gundah, haruskah lanjut ke mangkok berikutnya atau biarlah nikmat itu hanya sampai di sini? Harganya, porsinya, servisnya, bahkan sambelnya, semuanya terasa pas, ndak dibuat-buat. “Aku ki pancen nganggo bumbu rahasia, nggawe dhewe lho…” ["Saya memang pakai bumbu rahasia, bikinan sendiri.."], kata si Mas Sragen itu bangga. Saya percaya dia berkata jujur. Lagian, mana berani dia bohong? Karena “kalau bohong.. digigit nenek gondrong!”
* * *
Musik (yang Mereka Kira) Keras
Tidak seperti judulnya, lagu-lagu di kaset ini kebanyakan komposisi pop Melayu mendayu-dayu dengan tempo pelan meski sesekali agak ngebut, beat-beat drum yang terkadang memang dinamis dan enerjik, tapi tetap saja ini bukan musik cadas. Mungkin mereka hanya bersenda gurau alias sedang bermain-main dengan ironi (alangkah indahnya jika memang demikian!); atau bisa juga malah sebaliknya, they do mean it, mainkan musik sekeras yang mereka (sangka) bisa! Lagipula apa yang bisa kauharapkan dari band yang lahir dari perpecahan The Mercy’s? *keluh* Menurut Sandya, seorang fanboy paling sejati The Mercy’s yang pernah saya kenal, lagu “Jejaka” yang isolated drum break-nya sangat mengundang untuk di-sampling itu (mengamini pendapat Gembi, seorang veteran indie asal Kalibata) kelak di kemudian hari malah dimuat di salah satu album kumpulan The Best of Mercy’s. Lagu yang aslinya adalah ciptaan Charles Hutagalung di bawah bendera Ge&Ge itu rupanya sudah kadung dianggap sebagai lagunya The Mercy’s, dimana harmoni vokalnya memang mirip suara Charles-Rinto-Reynold. Memandangi sampul kaset Ge&Ge ini, ada hal menggelikan, yang mengingatkan saya pada kebiasaan orang Indonesia yang gemar menyingkat sesuatu menjadi malah terdengar bias dan distorsi (seperti menulis salam via SMS dengan “Pagi, ASS. wr.wb Pak Budi, bla bla bla.. Makasih, ASS.”:p) yaitu… ‘pimpinan’ disingkat menjadi ‘pimp’. Hellooo???
Album Musik Keras dari Ge&Ge format piringan hitam bisa didengar via streaming dari arsip kawan-kawan yang telaten di Irama Nusantara.
* * *
Oh Elastica, Abadilah Selamanya..
Pendek-pendek, 16 lagu kelar hanya dalam 40 menit, hantam kromo tanpa basa-basi dari menit ke-nol alias langsung straight to the point, menggabungkan sensibilitas britpop dengan agresivitas postpunk, lirik secukupnya tanpa perlu banyak mengulang reff, atau dalam istilah si frontman Justine Frischmann, “If you want to hear the chorus again, REWIND IT.” Brengsek. Attitude slenge’an Justine dkk yang juga cool secara fashion itu banyak mengilhami cewek-cewek remaja berhati resah di jamannya (setidaknya yang seumuran saya waktu itu, usia 15-16 tahun ketika album ini keluar) untuk berontak dari aturan rumah dengan mulai menggunting asimetris rambutnya, bolos les Matematika sambil sembunyi-sembunyi belajar gitar 3-kord, berharap nantinya mengagetkan banyak cowok di panggung pensi sekolah. Damon Albarn menyumbang isian keyboard di 3 lagu [#bantupacar], sementara Brett Anderson menyumbang co-writing di 1 lagu [#ingetmantan]. Satu-satunya amal ibadah Anderson di situ, “See That Animal”, adalah justru sekaligus nomor terkuat di album ini, dengan selipan melodi padang pasir yang repetitif, dentuman bass yang disetel kendor, dan efisiensi punk. Bertenaga! Beruntunglah konsumen pressing kaset Indonesia, karena beberapa edisi CD impornya entah kenapa malah tidak menyertakan lagu tersebut. Gara-gara nggak ada lyrics sheet di kasetnya, pertama kali dengar nggak langsung ngeh kalau hampir semua liriknya ternyata soal selangkangan. Favorit saya “Vaseline” (tentang pakai lotion supaya ehm you know lah), “2:1″ (yeah dua lawan satu) dan “Car Song” (apalagi kalau bukan mobil goyang?). Tentu saja Wire dan The Stranglers sama-sama kesal, eh kzl, gara-gara beberapa part di lagu “Connection” terdengar mirip “Three Girls Rhumba“ (memang persis) sementara “Waking Up” mirip “No More Heroes“, dan tuduhan plagiarism serius itu sampai menyeret Elastica ke meja hijau segala. Tapi bukankah “talent borrows, genius steals”? Haha. Maret nanti album ini genap berusia 20 tahun. Gosh, twenty fahkkin years! Pop punk tak pernah terdengar seseksi ini.
* * *
Streaming Elastica – s/t full album via YouTube:
Usulan Judul Skripsi (Basi): Musik Latar di Toko dan Pengaruhnya pada Perilaku Pengunjung
Tips pada foto ilustrasi di atas saya comot dari artikel ciamik sebuah web. Lalu saya bayangkan ada percakapan di dunia nyata seperti di bawah ini, setelah seseorang melihat temannya berbagi link tersebut via social media:
A: “Thanks infonya bro, kebetulan ane mau buka toko. Berarti harus muter lagu-lagu slow ya?”
B: “Yoi bro. Emang mau buka toko apa?”
A: “Toko vinyl, khusus metal.”
B: “Errr….”
* * *
Ajojing Padang Pasir
Setiap dilanda kebosanan (astaga, ini baru awal pekan) saya selalu meluncur ke lapak-lapak kaset bekas, dan kali ini coba menjajal wilayah-wilayah musikal yg selama ini gelap buat saya: disco! Entah apakah ini pilihan tepat bagi seorang awam disko, tapi saya mengambil kaset Disco Arab 2 karena frase itu terdengar lucu dan terlebih lagi ilustrasi cover-nya sungguh jenaka: onta nyengir, berkerudung ala pria jazirah Arab, lengkap kacamata hitam lawas! Bahlul. Dilihat dari body kaset dan anatomi cover-nya (masih memakai sistem gunting-dan-tempel kertas foto), jelas ini kaset bootleg Indonesia sekitar akhir 1970an atau awal 1980an, produksi Perina. Isinya kebanyakan lagu-lagu dari The Abu Fahla Orch (8 track), The Abdul Hassan Orch (2 track), Baba (2 track), sisanya masing-masing satu lagu dari Kai Warner Orch, Les Allumettes, Asha Puthli, Tasha Thomas, dan Sally & The Sultans. Peteng kabeh cuk, alias gelap semua bro, soalnya saya nggak kenal kenal satupun nama-nama tersebut. Tapi setelah puter punya puter, rasa-rasanya beberapa lagu pernah saya dengar entah di mana. Mungkin di angkot (selera sopir-sopir angkot terkadang memang cukup prolific), atau jaman-jaman naik bus antarkota antarpropinsi Bandung-Solo di tahun-tahun pertama kuliah dulu, atau ketika belanja bahan di pasar kain, atau lewat selintas di radio, atau itu hanya perasaan dek Budi saja.. Kompilasi oplosan ini sepertinya asal campur, alias rada ngawur. Jangan-jangan job desc si “A&R” di label Perina untuk kompilasi ini adalah: “Gini mack, pokoknya kalo lo nemu satu lagu ada nuansa padang pasirnya dikit dan bikin lo goyang, berarti itu (((DISCO ARAB))).. masukin aja!” Les Allumettes misalnya, bisa saja dipilih karena membawakan track “Mustapha” versi mereka yang memang rancak bana (tentu saja ada banyak versi lainnya dari berbagai penjuru dunia, termasuk oleh Orkes Kelana Ria pimpinan Munif dan Adikarso di plat rilisan Irama, 1961), atau track “Sheik of Araby” dari Kai Warner yang bisa jadi mula-mula masuk hitungan hanya lantaran frase judulnya khas stereotipikal Arab. Baba menyanyikan lagu berjudul “Ali Baba” (yeah, tentu saja) yang langsung bikin saya bangga dengan fakta bahwa Indonesia pernah punya lagu berbeda yang jauh lebih bagus soal itu, yang dipopulerkan Dara Puspita di piringan hitamnya, Jang Pertama (Mesra, 1966, dimana credit title lagu tersebut di situ tertulis sebagai cipt. “n.n.”) yang kemudian di-cover Boys Are Toys puluhan tahun kemudian. Googling punya googling, beberapa nama di kompilasi Disco Arab ini sebenarnya memang jauh panggang dari api, seperti Asha Puthli yang kelahiran India, atau Tasha Thomas yang ternyata penyanyi kulit hitam dari Amerika dengan awal karier di panggung Broadway. Puthli menyanyikan “Lay A Little Love”, yang entah kenapa ketika pertama kali saya cek dengan menggunakan aplikasi smartphone Shazam malah dikenali sebagai lagu berjudul “Let It Love”. Sementara di pertengahan lagu “Midnight Rendezvous”-nya Thomas, ada terselip beat-beat perkusi padang pasir, melodi racun Timur Tengah pun menyelinap cantik beberapa detik, dan susah bagi kita untuk nggak ikut goyang! Saya sempat mengira apakah “Shake Sheik Shake”-nya Sally & The Sultans di sini berasal dari permainan kata atas lagu tradisional lawas padang pasir, “Shik Shak Shok” (frase ini tidak memiliki makna saklek, ada yang bilang artinya “dance to my beat”, ada juga yang menyebutkan itu hanya untuk mengisi kekosongan suku kata sesuai melodi—saya bayangkan ini mirip frase bahasa Jawa yang pernah dipakai Doel Kamdi, “uthuk-uthuk ublung-ublung“, apa coba artinya?), tapi mungkin juga bukan itu. Favorit saya dari kompilasi absurd ini adalah satu dari sekian nomor The Abu Fahla Orch, berjudul kocak “Wanna Buy A Camel”. Geli aja membayangkan seseorang bernyanyi soal… PENGEN DEH ANE BELI ONTA. Haha! Setelah menulis ini saya malah jadi penasaran dengan Vol. 1, jangan-jangan lebih bahlul!
* * *
Disco Arab 2
(kaset bootleg, Perina, awal 1980an)
Tracklist:
Side A:
1. THE ABU FAHLA ORCH – Salaam Aleikum 2. THE ABU FAHLA ORCH – Ahalen Wasahlen 3. THE ABDUL HASSAN ORCH – Down Istambul 4. THE ABU FAHLA ORCH – All Together, Ya Shabab 5. THE ABU FAHLA ORCH – Anna Bahibak I Love You 6. KAI WARNER – Sheik Of Araby 7. THE ABU FAHLA ORCH – All Night Long 8. THE ABU FAHLA ORCH – My Beautiful Fat’ma
Side B:
1. BABA – Ali Baba 2. LES ALLUMETTES – Mustapha 3. THE ABU FAHLA ORCH – Wanna Buy A Camel 4. THE ABU FAHLA ORCH – Mecca Whoope 5. ASHA PUTHLI – Lay A Little Love 6. BABA – Love Is All 7. SALLY & THE SULTANS – Shake, Sheik, Shake (The Arab Hustle) 8. TASHA THOMAS – Midnight Rendezvous 9. THE ABDUL HASSAN ORCH – Ode To Yonina
Dalam Rangka Membicaraken Guilty Pleasure Saya: Is Haryanto, yang Lagu-lagu Pop Jawa-nya Sungguh Warbiyasa, Secara Notasi, Beat, maupun Lirik (Apalagi Liriknya!), Yen Sampeyan Iso Boso Jowo Yo Mesthi Kepingkel-pingkel Dhewe. Gendheng-gendheng Psikadelik, Kemplu To The Max! Ajuuur…
.
Suatu hari di kursus LIA.
A: “Is Haryanto, a singer..”
B: “Yes, he is!”
A: “Err, Is Haryanto, a songwriter..”
B: “Yes, he is!”
A: “Umm, I mean, Is Haryanto…”
B: “YES, HE SURELY IS! Are you okay?? Why keep asking that??”
Aku ki ora lagi takon suuu… Kasihan ah Is Haryanto.. Pokoke aku bocahmu Pak! Penggemar.